Minggu, 15 Januari 2012

Nenek yang Hilang Senyumnya

Salam kawan!
Percayalah perjumpaan ini akan menjadi abadi jika terus di ceritakan dari masa ke masa, dari satu pihak ke pihak yang lain. Kau tau, ini bukan perjumpaan yang biasa karena ada sebuah makna yang tersirat di balik sebuah cerita yang mungkin kawan-kawan sendiri belum pernah mendengarnya dari siapa pun kecuali dari saya.

Beginilah ceritanya,
Tersebut seorang Nenek yang tinggal di sebuah rumah yang cukup besar, cukup nyaman, yang perabotannya cukup banyak pula, semuanya serba berkecukupan. Rumah itu adalah rumah salah seorang menantunya. Menantunya itu tinggal bersama ketiga anaknya. Si Cikal pergi merantau menimba ilmu di salah satu universitas di Bandung. Istrinya mana? Ya, istrinya (anak si Nenek) telah lama kembali ke pangkuan Allah SWT setelah menderita penyakit komplikasi. Entah apa nama penyakitnya, yang saya ketahui ini-itu tidak beres sistemnya. hampir separuh hartanya ludes hanya untuk meminimalisasi rasa sakitnya. Menantu si Nenek itu memliki usaha yang cukup maju. Mungkin saya cukupkan saja cerita mengenai latar belakang menantunya si Nenek.

Pada paragraf sebelumnya kita sudah tau Nenek itu tinggal dengan fasilitas yang serba berkecukupan. tapi apakah hidupnya bahagia sebahagia nenek-nenek yang lainnya? Tentu tidaklah begitu kawan. Semua keceriaan yang dulu pernah ia goreskan pada senyum sederhananya itu kian lama kian berkurang. Kini dia lebih sering menunggu datangnya pelangi yang memancar dari tawa cucu-cucunya, peluk hangat anak-anaknya, dan kiriman kabar bahwa anaknya baik-baik saja. Dia terus menunggu di balik jendela besar setelah melaksanakan sholat atau usai mengaji. Dia terus saja menunggu dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun. sampai sudah susah lagi ia berjalan. Terkadang, saat keheningan datang, tampak si Nenek menitikan air mata yang hampir kering itu dan timbul pertanyaan dalam batinnya, "Kapan anak-anakku pulang? Apakah mereka sudah tak tahu jalan pulang?" Meski dia tahu bahwa anak-anaknya telah memiliki rumah sendiri yang diisi oleh istri dan anak-anak mereka.

Kesedihan itu rupanya telah menjadi makanan sehari-hari setelah sebagian besar anaknya berpulang dengan cara yang jika diresapi sangat menyesakkan dada. Sebagian besar dari mereka mengidap penyakit yang cukup berat, dengan penanganan medis yang cukup rumit, tentunya dengan biaya yang selangit. Untuk ukuran kemampuan seorang nenek yang tidak memiliki pekerjaan tentunya dia hanya bisa mengelus dada, menarik napas panjang, dan berusaha membujuk anak-anaknya yang hanya 4 kepala saja juga memohon bantuan terhadap menantu-menantunya. Miris memang...

Dalam setiap sholatnya terselip pertanyaan-pertanyaan di akhir sujudnya "Mengapa tak Kau renggut saja jiwa ini? Mengapa harus mereka? Dan mengapa aku harus menyaksikan mereka menghadap-Mu lebih cepat dariku? Padahal mereka masih muda, sedang aku sudah renta,"

Dan kini...
Dia hanya bisa menunggu dan terus menunggu hujan  membawa kabar bahwa anak-anak dan cucu-cucunya dalam kondisi baik-baik saja...

Sekian,
Terima kasih.

 NB: Semoga kisah ini menginspirasi kawan-kawan semua.

Salam! Sampai jumpa di kisah berikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar