Senin, 30 Januari 2012

Mesti Ada Pengorbanan Kecil

Salam, Kawan!

Jumpa kembali kita di taman tulis ini.
Kali ini saya membawa "bekal" untuk diperbincangkan dengan asyik dan menarik. Apa kawan sekalian tahu apa bekal itu?
Mungkin saja kawan pernah membaca sebuah cerpen berjudul Pengorbanan Kecil karya Yopi Setia Umbara yang ditulis dalam blognya yopisetiaumbara.wordpress.com pada 30 Januari 2012. Nah, itulah bekal yang akan saya bagi kali ini. Simaklah!

Dalam tulisan tersebut dikisahkan seorang pengangguran (menurut pandangan kebanyakan orang) yang memiliki sebuah prinsip. Selain itu dia senang berimajinasi dan disalurkannya menjadi sebuah cerpen. Terkadang cerpen itu dia tulis di jejaring sosial semacam blog, facebook atau twitter.

Suatu ketika dia bertemu dengan seorang teman. Kini temannya itu telah menjadi dosen dan berkecukupan materi. Selain bertegur sapa, tentunya terjadi perbincangan di antara mereka. Berikut isi dari perbicangannya:
“Apa kerjaanmu sekarang?” Lalu teman saya bertanya.
“Menulis!” Saya menjawabnya dengan mantap.
“Mengapa kau masih menulis?” Sambutnya.
“Maksudmu?” Jawab saya, mencoba mengurai pertanyaannya.
“Ya, memangnya menulis menghasilkan materi?” Urainya.
“Kadang-kadang.” Kata saya.
“Berarti, pedapatanmu tak pasti?” Lanjutnya.
“Ya, begitulah.” Jawab saya kemudian.
“Lalu kenapa kamu masih bertahan?” Teman saya heran.
“Prinsip, man.” Saya menegaskan.
“Apalah arti sebuah prinsip kalau kamu tak bisa membeli kopi untuk menemanimu menulis!” Kata seorang teman
Bagi seorang idealis seperti dia, mendengarkan pernyataan tersebut sangatlah menusuk hatinya. Lama ia terpekur dan memikirkan terus maksud pernyataan itu sampai muncullah sebuah jawaban bahwa ada benarnya pernyataan tersebut meski sedikit. Jawaban itu adalah bagaimana caranya secangkir kopi dapat menjaga imajinasinya untuk membuat cerita-cerita yang baik yang akan disuguhkan kepada para pembaca. Dengan kata lain, mesti ada pengorbanan kecil demi menjaga prinsip hidupnya tanpa harus mengikuti kepercayaan orang kebanyakan yang sangat mencintai harta dan tahta.

Begitulah akhir dari kisah tentang pengorbanan kecil karya Yopi Setia Umbara.
Semoga kisah dan apresiasi yang saya tunjukan berupa tulisan di blog taman tulis ini dapat menginspirasi kawan-kawan.

"Teruslah berimajinasi, karena berimajinasi itu menyenangkan!"

Sampai jumpa di kisah berikutnya.

Salam, Kawan!

Minggu, 15 Januari 2012

Nenek yang Hilang Senyumnya

Salam kawan!
Percayalah perjumpaan ini akan menjadi abadi jika terus di ceritakan dari masa ke masa, dari satu pihak ke pihak yang lain. Kau tau, ini bukan perjumpaan yang biasa karena ada sebuah makna yang tersirat di balik sebuah cerita yang mungkin kawan-kawan sendiri belum pernah mendengarnya dari siapa pun kecuali dari saya.

Beginilah ceritanya,
Tersebut seorang Nenek yang tinggal di sebuah rumah yang cukup besar, cukup nyaman, yang perabotannya cukup banyak pula, semuanya serba berkecukupan. Rumah itu adalah rumah salah seorang menantunya. Menantunya itu tinggal bersama ketiga anaknya. Si Cikal pergi merantau menimba ilmu di salah satu universitas di Bandung. Istrinya mana? Ya, istrinya (anak si Nenek) telah lama kembali ke pangkuan Allah SWT setelah menderita penyakit komplikasi. Entah apa nama penyakitnya, yang saya ketahui ini-itu tidak beres sistemnya. hampir separuh hartanya ludes hanya untuk meminimalisasi rasa sakitnya. Menantu si Nenek itu memliki usaha yang cukup maju. Mungkin saya cukupkan saja cerita mengenai latar belakang menantunya si Nenek.

Pada paragraf sebelumnya kita sudah tau Nenek itu tinggal dengan fasilitas yang serba berkecukupan. tapi apakah hidupnya bahagia sebahagia nenek-nenek yang lainnya? Tentu tidaklah begitu kawan. Semua keceriaan yang dulu pernah ia goreskan pada senyum sederhananya itu kian lama kian berkurang. Kini dia lebih sering menunggu datangnya pelangi yang memancar dari tawa cucu-cucunya, peluk hangat anak-anaknya, dan kiriman kabar bahwa anaknya baik-baik saja. Dia terus menunggu di balik jendela besar setelah melaksanakan sholat atau usai mengaji. Dia terus saja menunggu dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun. sampai sudah susah lagi ia berjalan. Terkadang, saat keheningan datang, tampak si Nenek menitikan air mata yang hampir kering itu dan timbul pertanyaan dalam batinnya, "Kapan anak-anakku pulang? Apakah mereka sudah tak tahu jalan pulang?" Meski dia tahu bahwa anak-anaknya telah memiliki rumah sendiri yang diisi oleh istri dan anak-anak mereka.

Kesedihan itu rupanya telah menjadi makanan sehari-hari setelah sebagian besar anaknya berpulang dengan cara yang jika diresapi sangat menyesakkan dada. Sebagian besar dari mereka mengidap penyakit yang cukup berat, dengan penanganan medis yang cukup rumit, tentunya dengan biaya yang selangit. Untuk ukuran kemampuan seorang nenek yang tidak memiliki pekerjaan tentunya dia hanya bisa mengelus dada, menarik napas panjang, dan berusaha membujuk anak-anaknya yang hanya 4 kepala saja juga memohon bantuan terhadap menantu-menantunya. Miris memang...

Dalam setiap sholatnya terselip pertanyaan-pertanyaan di akhir sujudnya "Mengapa tak Kau renggut saja jiwa ini? Mengapa harus mereka? Dan mengapa aku harus menyaksikan mereka menghadap-Mu lebih cepat dariku? Padahal mereka masih muda, sedang aku sudah renta,"

Dan kini...
Dia hanya bisa menunggu dan terus menunggu hujan  membawa kabar bahwa anak-anak dan cucu-cucunya dalam kondisi baik-baik saja...

Sekian,
Terima kasih.

 NB: Semoga kisah ini menginspirasi kawan-kawan semua.

Salam! Sampai jumpa di kisah berikutnya.