Selasa, 11 Oktober 2011

Ini Untukmu, Anakku!

Terik mentari tajam sengat kulit langsat
sejurus kau sapu itu keringat
hilang sudah debu yang lekat-lekat
menyipit matamu menengadah mengharap
barang sepeserpun kau dapat

Ibu, sudah lunglai pijak kaki
pada bebatu tajam itu
biar dirimu istirahatkanlah dahulu
barang sebentar sahaja 

Ah, tidak
waktu jua tak menunggu mengasihani diri
biar saja peluh kau bawa sampai
pada meja kelas kumuh itu
di kampung-kampung, anak kampung butuh ilmu
dan kau butuh uang
untuk bekal anakmu sekolah
bukan dikampung 
tapi di kota yang barang tentu punya tarif mahal.

Ibu, ku tahu kau sembunyikan itu peluh
agar aku enak makan enak tidur
tanpa harus mengibamu
biar begitu aku tahu kau pulang senja,
langsung saja kau menghempas tidur
sampai kau lupa mengganti pakaianmu

Pamoyanan, 26 September 2011

Jumat, 07 Oktober 2011

Tinggal Kopi Pahit Tadi Malam


Tik… tok… tik… tok…
Selalu begitu suara detak jarum jam bekas pemberian dari almarhum ayahku, tapi masih saja aku rawat sedemikian baik agar dapat berfungsi kembali. Ya, agar aku selalu ingat padanya. Menatap dan mendengar detak jarum ini sendiri seakan detak jantung dan bayangan ayahku hadir di sampingku sambil menunggu kepulangan menantunya. Dia adalah suamiku yang dulu ayahku selalu memujinya. “Dialah menantuku yang paling baik di antara menantuku yang lain,” katanya sambil tersenyum (dalam lamunanku).
Sudahlah! Semua itu hampir berakhir. Kesetiaan cintanya padaku seakan pudar seiring dengan tumbuhnya garis keriput di samping mataku, walau hanya sedikit. Sudah hampir satu bulan dia tidak pulang ke rumah walau cuma tidur-tiduran di sofa. Dia bilang sedang kebanjiran pelanggan parfum merek Ave milik bos parfum di kampung sebelah. Bodoh amat dengan itu semua! Kini harapanku yang tersisa hanyalah suamiku pulang dengan selamat dan tak meninggalkan bau alkohol atau luka memar di wajahnya seperti yang kulihat di setiap sinetron yang aku tonton. Dan tidak mungkin suamiku berlaku seburuk itu.


Tik… tok… tik… tok…
Jarum jam menunjuk tepat pada pukul 12 malam. Aku masih sendiri menunggunya di atas sofa hijau lumut di ruang tamu. Belum juga dia menampakkan batang hidungnya. Dia semakin membuatku cemas. Air hangat telah kusiapkan supaya dia cepat mandi setelah pulang. Tak lupa secangkir kopi pahit hitam panas kesukaannya juga telah kuhidangkan di atas meja kaca.
“Mas, kapan kau akan pulang? Kopimu telah aku buatkan, aku sudah mengurangi takaran gulanya. Aku yakin, kali ini kau pasti akan suka, Mas, aku sudah mulai mengantuk. Tak mungkin aku menunggumu terlalu lama. Cepatlah pulang! Aku cemas padamu, Mas! Sekarang sudah pukul 12 malam.”
Mail box sudah aku sampaikan. Mudah-mudahan dia dapat mendengarkan pesan itu. Habisnya, sudah beberapa kali kutelepon, takpernah dia angkat.
***
Angin menderu membentur kap mobil sedan yang ditumpangi oleh Sobur dan Shinta, istri bos parfum. Mereka sedang asyik berbincang di dalam mobil jok paling depan. Sejurus mereka asyik mengobrol, dering handphone datang mengganggu.
“Siapa yang meneleponmu? Kenapa tak kau angkat?” Tanya Nyonya Shinta, istri bos parfum, sambil mengernyitkan dahi.
“Ah, tidak. Bukan siapa-siapa.” Mas Sobur mengelak
“Mungkin salah sambung.” Sambung Sobur.
“Oh, saya kira yang menelponmu tadi itu adalah istrimu.”
“Oh, ya, sudah sampai mana tadi kita berbincang-bincang?”
“Sampai niat kau meminta antar kepadaku untuk membeli susu dan popok untuk anakmu”
“Ah… ya, aku sampai lupa. Maaf!”
“Aku mengajakmu karena suamiku tak jadi pulang ke rumah. Karena ada partner kerja dari Jakarta yang memintanya untuk datang ke pertemuan mendadak. Katanya mereka akan  mengadakan launching produk parfum terbaru beraroma terapi beberapa bulan ke depan,”
“Nah, dia meminta kepadaku untuk membujukmu untuk menemani sekaligus menjadi sopirku. Katanya kau adalah orang kepercayaannya. Maka dari itu, kau sering aku suruh untuk menemaniku keluar rumah. Suamiku sangat memercayaimu. Dan aku sangat percaya pada suamiku,” tambah Shinta.
“Kau tak akan macam-macam denganku, kan?
“Sudah tentu tidak, Nyonya! Bagaimana mungkin aku mengkhianati kepercayaan bosku? Lagipula, beliau amat baik padaku. Tak jarang dia beri aku bonus kalau produk parfumnya terjual lebih dari setengahnya”
Dengan santai Sobur mengendalikan stir mobil sambil mendengarkan lagu jazz.
***
Jarum jam kini menunjuk pukul 12.30 WIB. Sudah setengah jam aku telah menunggu. Semakin lama, perasaan cemas semakin  menjadi. Tanpa berpikir lama, bergegaslah aku membawa mantel tebal yang kubeli di pasar kaget di Gasibu Bandung setahun yang lalu. Kubeli bersama suamiku dengan uang upah kerja suamiku. Ya, dia pernah dan masih bekerja sebagai sales parfum di kampung sebelah. Kampung Sukasari Tak lupa juga kubawa mantel miliknya serta lampu senter besar.
Pergilah aku ke pos ronda di depan pekuburan kampung Sukasenang. Jaraknya dari rumahku tak lebih dari 50 meter. Mas Soburku sering berkumpul di sana bersama teman-temannya. Terkadang sesekali pernah kutemui dia sedang bermain catur bersama teman-temannya. Ya, setiap kali aku memberinya bekal kudapan agar siap menghadapi para maling di gelap malam. Dan mungkin saja malam ini dia sedang ada ronda sehingga tak bisa dia angkat telepon dariku. Jika dia angkat, kau akan tahu sendiri bagaimana jadinya.
Kulihat ada Mang Kardi sedang sendiri menunggu teman-teman merondanya datang.
Mang Kardi, ari ayeuna jadwal ngaronda Kang Sobur, teu?1
Oh, jadwal meronda Kang Sobur mah enjing, dinten Salasa”2
“Ningali Kang Sobur teu?3
Oh, Kang Sobur?
Kang Sobur teh tadi saya lihat sedang bersama seorang wanita naik mobil sedan.
Kalau tidak salah, mereka teh menuju ke arah barat. Mungkin saja mereka ke supermarket 24 jam di samping gerbang kampung ini.
Apa mungkin wanita yang sedang bersamanya itu adalah wanita yang sering dibicarakan Ceu Manah (tetanggaku). Katanya wanita itu adalah istri si bos perusahaan parfum. Bos suamiku. Ah, tak mungkin suamiku dengan beraninya mendekati wanita itu. Yang ada, aku taklagi dapat membeli beras juga takdapat membayar biaya sekolah kedua anakku dan anaknya. Karena suamiku dipecat tanpa meninggalkan pesangon. Mana zaman sekarang susahnya minta ampun untuk dapat pekerjaan. Paling-paling jual TV atau radio butut satu-satunya milik kami.
Lama aku dalam lamunan yang takkaruan. Dengan segera kecemasan-kecemasan itu ku tepis jauh-jauh dari pikirku. 
“Mang Kardi tiasa nganteur Abdi kadinya?”4
Kebetulan kulihat Mang kardi membawa sepeda motor.
“Oh, mangga, Nyai!”5
***
Hembus angin kencang melawan arus laju motor, hingga menelusup kain mantelku yang tebal. Seakan mencari celah masuk agar angin sukses membuatku bersin kedinginan. Meski begitu, aku tetap tak peduli. Yang penting segera aku dapatkan mereka di supermarket itu.   
Sesampainya di halaman supermarket kami mendapati sebuah mobil sedan berwana hitam.
“Mang Kardi, apa benar ini mobilnya?” tanyaku sambil menahan degup kencang jantungku yang mulai memanas.
“Ya, benar!”
Tak sampai aku membuka pintu supermarket itu, sudah jelas kulihat suamiku sedang menenteng keranjang belanja bersama wanita yang mungkin saja dia adalah istri si bos parfum. Dia cantik sekali, mengenakan gaun merah dengan rok sampai lutut seakan memamerkan kaki mulus putih nan lancip. Juga bermantel yang digantungkan saja di atas bahunya.
Semakin aku selidiki tingkah mereka berdua dari kejauhan. Mereka kini mulai membeli popok dan susu bubuk untuk bayi. Sontak hatiku mulai memanas. Jantungku berdetak  dua kali lebih kencang dari biasanya.
Tak lama setelah membeli kedua jenis barang tersebut, mereka membayar belanjaan di kasir. Lalu mereka keluar menuju daun pintu mobil sedan hitam milik istri si bos parfum yang cuih! Cantiknya bukan kepalang. Iri aku padanya.
“Mas!!!” teriakku kencang melawan deru angin malam
“Surti? Kaukah itu? Sobur sedikit mengerenyitkan dahi terlihat menyelidiki keberadaanku yang terbilang aneh.
“Kenapa kamu ada di sini?”
“Tidak penting kau tahu aku ada di sini, yang jelas kini kau lebih memilihnya karena dia cantik dan nampak jauh lebih muda dariku. Sedangkan aku. Istrimu. Hanya patung tua yang dengan pura-pura kau puji. Padahal hatimu busuk!!! Hahh!! Mengapa tak kau bilang saja dari dulu, kau ingin punya istri lagi? Beraninya kau menghamili istri orang lain tanpa sepengetahuanku!”
“Apa maksudmu? Siapa yang menghamili istri orang lain?”
“Buktinya tadi kulihat kau membeli popok bayi dan susu,”
“Apa itu sudah cukup sebagai bukti, Hahhh??”
Surti menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Mas, aku minta cerai!”

“tunggu dulu, Surti! Mengapa kamu tak memberiku kesempatan bicara? Ini semua salah paham. Aku hanya… A…ku…
Surti!!!” teriak Mas Sobur
Aku sudah muak melihat mukanya. Segera kupalingkan tubuhku yang lemas hampir rapuh mengalami peristiwa pahit di malam ini. Sudah kuduga. Ini semua akan terjadi. Kulihat Mang Kardi masih setia menungguku di samping trotoar.
“Mang Kardi, hayu angkat!”6
Kamana, Nyai... Nyai??”7
Aku tak mampu lagi menjawab pertanyaan remeh itu. sebab suaraku kering tersekat isak tangis yang dalam. Sangat dalam. Mang Kardi tak meneruskan pertanyaannya. Dia sudah tau apa yang harus dia lakukan, yaitu mengantarku pulang. Kini taklagi kudengar gemuruh angin malam itu. hanya suara tangisku yang tak bisa kubendung lagi. Mang Kardi hanya diam takut salah ucap dan mencoba memahami perasaanku.
Sesampainya aku dan Mang Kardi di mulut gang rumahku. Aku dibopongnya, karena lemas badanku setelah melewatkan pertemuan tadi.
Nuhun, Mang!” 8 ucapku lemas.
Sami-sami,” 9 balas Mang Kardi.
Menggenggam kunci pun terasa berat. Sampai diriku lama sekali membuka pintu. Bruk! kuhempaskan seluruh badanku ke atas sofa lumut hijau di ruang tamu, sambil merasakan detak jarum jam pemberian ayahku.
“Ayah!” aku mengadu padanya dalam khayal. Ayah, dia bukan menantumu yang paling baik” Ayah, aku akan cerai dengannya,
“Kau, tahu? Ayah sangat membenci perceraian. Riwayat keluargamu tak ada coreng perceraian maka dari itu, jangan coba-coba melakukannya! Apa kau tidak malu pada Allah Subhanahu wa ta’ala” jawab Ayah (dalam khayalanku)
“Pasti kau kecewa denganku. Sungguh dahulu saat di pelaminan pernikahanku dengan Mas Sobur, kau membisikkan kalimat itu, tapi harus bagaimana lagi, ‘Yah?
Hening datang kembali. Yang tersisa tinggal detak jarum jam bekas pemberian Ayah, dengkur kedua anakku, isak tangisku yang semakin melaun dan kopi hitam pahit yang sudah mulai mendingin seiring hatiku yang mengharu biru.
______________________________________________________
Catatan kaki:

1Mang Kardi, sekarang jadwal meronda Kang Sobur, bukan?
2“Oh, jadwal meronda Kang Sobur tuh besok, hari Selasa”
3“Lihat Kang Sobur, gak?

4“Mang Kardi bisa antar saya ke sana?”
5“Oh, silahkan, Nyai!”

6“Mang Kardi, ayo berangkat!”
7“Ke mana, Nyai... Nyai??”

8“Terima kasih, Mang!”
9 “Sama-sama,”

Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Penulisan Kreatif di semester 3 :)

Kamis, 06 Oktober 2011

Ketemu Jeihan

Siapa yang gak kenal Jeihan. kalo kita searching di google dengan kata kunci 'Jeihan' pasti yang muncul dominan adalah Jeihan Sukmantoro dengan baju koko dan peci hitam juga berkacamata. Sang pelukis terkenal dengan mata hitam-nya yang katanya lukisannya itu dijual dengan harga setara dengan satu mobil. Gila...

Nah, ngomong-ngomong tentang Jeihan, 2 minggu yang lalu, saya berkesempatan bisa bertatap muka dengannya LIVE di studio Jeihan, sekitar Padasuka. pada acara mabim (setara dengan ospek) Jurusan Sastra Indonesia Unpad.
begitu masuk studionya, beuuh.... full artistic! (lebay) gkgkg

di sana banyak patung-patung kuda, ksatria, dan yang pasti lukisan-lukisannya itu loh...
lukisan yang katanya super mahal. dipajang di setiap sudut ruangan dan di setiap lantai (sampai lantai 3)
lukisan itu didominasi oleh karyanya yang bertemakan "wanita"


Entah mengapa, saat melihat-lihat, kok hampir semua lukisannya tentang wanita. Hal itulah yang pengen saya tanya ke Pak Jeihan. Pas saya mau nanya, eh... ternyata udah keduluan sama mahasiswa baru. jawab Pak Jeihan, "Saya sangat mengagumi sosok wanita. Karena dialah yang banyak menanggung beban penderitaan. Dia pula yang menjadi sumber inspirasi saya".

Setelah mendengar pernyataan itu, saya langsung speechless alias takjub meeeen... dan yang pasti tidak memandang lemah seorang wanita (pelajaran berharga, tuh!)

Beliau juga berpesan, "Jangan ragu berkecimpung di dunia sastra! karena dengan sastra, kalian dapat berekspresi dan kesananya bisa menjadi kaya! Percayalah!"

Sastra-->Seni-->Filsafat

Teruslah berkarya!

Salam Kenal!

Assalamu'alaikum, Kawan!

Saya "orang baru" loh... di dunia blogging. Salam kenal, ya!
Sebenernya, sih... udah lama punya blog, tapi lupa passwordnya. Jadi bikin deh blog yang baru di www.blogger.com ini. (ga penting) hehe :D

Mungkin, Kawan-kawan sekalian ingin tahu lebih tentang saya (narsis). Nah, kawan-kawan sekalian bisa mengenal saya lewat tulisan.

Nah, di Taman Tulis ini lah kita bisa berceloteh bersama, dan berbagi ilmu.

Makasih, ya... udah baca :D

Salam Tamannulis!!! Semangat!!!
Wassalamu'alaikum...