Tik… tok… tik… tok…
Selalu begitu suara
detak jarum jam bekas pemberian dari almarhum ayahku, tapi masih saja aku rawat
sedemikian baik agar dapat berfungsi kembali. Ya, agar aku selalu ingat
padanya. Menatap dan mendengar detak jarum ini sendiri seakan detak jantung dan
bayangan ayahku hadir di sampingku sambil menunggu kepulangan menantunya. Dia
adalah suamiku yang dulu ayahku selalu memujinya. “Dialah menantuku yang paling
baik di antara menantuku yang lain,” katanya sambil tersenyum (dalam lamunanku).
Sudahlah! Semua itu
hampir berakhir. Kesetiaan cintanya padaku seakan pudar seiring dengan
tumbuhnya garis keriput di samping mataku, walau hanya sedikit. Sudah hampir
satu bulan dia tidak pulang ke rumah walau cuma tidur-tiduran di sofa. Dia
bilang sedang kebanjiran pelanggan parfum merek Ave milik bos parfum di kampung
sebelah. Bodoh amat dengan itu semua! Kini harapanku yang tersisa hanyalah
suamiku pulang dengan selamat dan tak meninggalkan bau alkohol atau luka memar
di wajahnya seperti yang kulihat di setiap sinetron yang aku tonton. Dan tidak
mungkin suamiku berlaku seburuk itu.
Tik… tok… tik… tok…
Jarum jam menunjuk
tepat pada pukul 12 malam. Aku masih sendiri menunggunya di atas sofa hijau
lumut di ruang tamu. Belum juga dia menampakkan batang hidungnya. Dia semakin
membuatku cemas. Air hangat telah kusiapkan supaya dia cepat mandi setelah
pulang. Tak lupa secangkir kopi pahit hitam panas kesukaannya juga telah kuhidangkan
di atas meja kaca.
“Mas, kapan kau akan
pulang? Kopimu telah aku buatkan, aku sudah mengurangi takaran gulanya. Aku
yakin, kali ini kau pasti akan suka, Mas, aku sudah mulai mengantuk. Tak mungkin
aku menunggumu terlalu lama. Cepatlah pulang! Aku cemas padamu, Mas! Sekarang
sudah pukul 12 malam.”
Mail box
sudah aku sampaikan. Mudah-mudahan dia dapat mendengarkan pesan itu. Habisnya,
sudah beberapa kali kutelepon, takpernah dia angkat.
***
Angin menderu membentur
kap mobil sedan yang ditumpangi oleh Sobur dan Shinta, istri bos parfum. Mereka
sedang asyik berbincang di dalam mobil jok paling depan. Sejurus mereka asyik
mengobrol, dering handphone datang
mengganggu.
“Siapa yang
meneleponmu? Kenapa tak kau angkat?” Tanya Nyonya Shinta, istri bos parfum,
sambil mengernyitkan dahi.
“Ah, tidak. Bukan
siapa-siapa.” Mas Sobur mengelak
“Mungkin salah sambung.”
Sambung Sobur.
“Oh, saya kira yang
menelponmu tadi itu adalah istrimu.”
“Oh, ya, sudah sampai
mana tadi kita berbincang-bincang?”
“Sampai niat kau
meminta antar kepadaku untuk membeli susu dan popok untuk anakmu”
“Ah… ya, aku sampai
lupa. Maaf!”
“Aku mengajakmu karena
suamiku tak jadi pulang ke rumah. Karena ada partner kerja dari Jakarta yang
memintanya untuk datang ke pertemuan mendadak. Katanya mereka akan mengadakan launching produk parfum
terbaru beraroma terapi beberapa bulan ke depan,”
“Nah, dia meminta
kepadaku untuk membujukmu untuk menemani sekaligus menjadi sopirku. Katanya kau
adalah orang kepercayaannya. Maka dari itu, kau sering aku suruh untuk
menemaniku keluar rumah. Suamiku sangat memercayaimu. Dan aku sangat percaya
pada suamiku,” tambah Shinta.
“Kau tak akan
macam-macam denganku, kan?
“Sudah tentu tidak,
Nyonya! Bagaimana mungkin aku mengkhianati kepercayaan bosku? Lagipula, beliau
amat baik padaku. Tak jarang dia beri aku bonus kalau produk parfumnya terjual
lebih dari setengahnya”
Dengan santai Sobur
mengendalikan stir mobil sambil mendengarkan lagu jazz.
***
Jarum jam kini menunjuk
pukul 12.30 WIB. Sudah setengah jam aku telah menunggu. Semakin lama, perasaan
cemas semakin menjadi. Tanpa berpikir
lama, bergegaslah aku membawa mantel tebal yang kubeli di pasar kaget di Gasibu
Bandung setahun yang lalu. Kubeli bersama suamiku dengan uang upah kerja
suamiku. Ya, dia pernah dan masih bekerja sebagai sales parfum di kampung
sebelah. Kampung Sukasari Tak lupa juga kubawa mantel miliknya serta lampu
senter besar.
Pergilah aku ke pos
ronda di depan pekuburan kampung Sukasenang. Jaraknya dari rumahku tak lebih
dari 50 meter. Mas Soburku sering berkumpul di sana bersama teman-temannya.
Terkadang sesekali pernah kutemui dia sedang bermain catur bersama
teman-temannya. Ya, setiap kali aku memberinya bekal kudapan agar siap
menghadapi para maling di gelap malam. Dan mungkin saja malam ini dia sedang
ada ronda sehingga tak bisa dia angkat telepon dariku. Jika dia angkat, kau
akan tahu sendiri bagaimana jadinya.
Kulihat ada Mang Kardi
sedang sendiri menunggu teman-teman merondanya datang.
Mang Kardi, ari
ayeuna jadwal ngaronda Kang Sobur, teu?1
“Oh,
jadwal meronda Kang Sobur mah enjing, dinten Salasa”2
“Ningali Kang
Sobur teu?3
Oh, Kang Sobur?
Kang Sobur teh tadi
saya lihat sedang bersama seorang wanita naik mobil sedan.
Kalau tidak salah,
mereka teh menuju ke arah barat. Mungkin saja mereka ke supermarket 24
jam di samping gerbang kampung ini.
Apa mungkin wanita yang
sedang bersamanya itu adalah wanita yang sering dibicarakan Ceu Manah (tetanggaku).
Katanya wanita itu adalah istri si bos perusahaan parfum. Bos suamiku. Ah, tak
mungkin suamiku dengan beraninya mendekati wanita itu. Yang ada, aku taklagi
dapat membeli beras juga takdapat membayar biaya sekolah kedua anakku dan
anaknya. Karena suamiku dipecat tanpa meninggalkan pesangon. Mana zaman
sekarang susahnya minta ampun untuk dapat pekerjaan. Paling-paling jual TV atau
radio butut satu-satunya milik kami.
Lama aku dalam lamunan
yang takkaruan. Dengan segera kecemasan-kecemasan itu ku tepis jauh-jauh dari
pikirku.
“Mang Kardi tiasa
nganteur Abdi kadinya?”4
Kebetulan kulihat Mang
kardi membawa sepeda motor.
“Oh, mangga,
Nyai!”5
***
Hembus angin kencang
melawan arus laju motor, hingga menelusup kain mantelku yang tebal. Seakan
mencari celah masuk agar angin sukses membuatku bersin kedinginan. Meski
begitu, aku tetap tak peduli. Yang penting segera aku dapatkan mereka di
supermarket itu.
Sesampainya di halaman
supermarket kami mendapati sebuah mobil sedan berwana hitam.
“Mang Kardi, apa benar
ini mobilnya?” tanyaku sambil menahan degup kencang jantungku yang mulai
memanas.
“Ya, benar!”
Tak sampai aku membuka
pintu supermarket itu, sudah jelas kulihat suamiku sedang menenteng keranjang
belanja bersama wanita yang mungkin saja dia adalah istri si bos parfum. Dia
cantik sekali, mengenakan gaun merah dengan rok sampai lutut seakan memamerkan
kaki mulus putih nan lancip. Juga bermantel yang digantungkan saja di atas
bahunya.
Semakin aku selidiki
tingkah mereka berdua dari kejauhan. Mereka kini mulai membeli popok dan susu
bubuk untuk bayi. Sontak hatiku mulai memanas. Jantungku berdetak dua kali lebih kencang dari biasanya.
Tak lama setelah
membeli kedua jenis barang tersebut, mereka membayar belanjaan di kasir. Lalu mereka
keluar menuju daun pintu mobil sedan hitam milik istri si bos parfum yang cuih! Cantiknya bukan kepalang. Iri aku
padanya.
“Mas!!!” teriakku
kencang melawan deru angin malam
“Surti? Kaukah itu?
Sobur sedikit mengerenyitkan dahi terlihat menyelidiki keberadaanku yang
terbilang aneh.
“Kenapa kamu ada di
sini?”
“Tidak penting kau tahu
aku ada di sini, yang jelas kini kau lebih memilihnya karena dia cantik dan nampak
jauh lebih muda dariku. Sedangkan aku. Istrimu. Hanya patung tua yang dengan
pura-pura kau puji. Padahal hatimu busuk!!! Hahh!! Mengapa tak kau bilang saja
dari dulu, kau ingin punya istri lagi? Beraninya kau menghamili istri orang
lain tanpa sepengetahuanku!”
“Apa maksudmu? Siapa
yang menghamili istri orang lain?”
“Buktinya tadi kulihat
kau membeli popok bayi dan susu,”
“Apa itu sudah cukup
sebagai bukti, Hahhh??”
Surti menarik nafas
dalam-dalam dan berkata, “Mas, aku minta cerai!”
“tunggu dulu, Surti! Mengapa
kamu tak memberiku kesempatan bicara? Ini semua salah paham. Aku hanya… A…ku…
Surti!!!” teriak Mas
Sobur
Aku sudah muak melihat
mukanya. Segera kupalingkan tubuhku yang lemas hampir rapuh mengalami peristiwa
pahit di malam ini. Sudah kuduga. Ini semua akan terjadi. Kulihat Mang Kardi
masih setia menungguku di samping trotoar.
“Mang Kardi, hayu
angkat!”6
“Kamana, Nyai... Nyai??”7
Aku tak mampu lagi
menjawab pertanyaan remeh itu. sebab suaraku kering tersekat isak tangis yang
dalam. Sangat dalam. Mang Kardi tak meneruskan pertanyaannya. Dia sudah tau apa
yang harus dia lakukan, yaitu mengantarku pulang. Kini taklagi kudengar gemuruh
angin malam itu. hanya suara tangisku yang tak bisa kubendung lagi. Mang Kardi
hanya diam takut salah ucap dan mencoba memahami perasaanku.
Sesampainya aku dan
Mang Kardi di mulut gang rumahku. Aku dibopongnya, karena lemas badanku setelah
melewatkan pertemuan tadi.
“Nuhun, Mang!” 8 ucapku lemas.
“Sami-sami,” 9 balas Mang Kardi.
Menggenggam kunci pun
terasa berat. Sampai diriku lama sekali membuka pintu. Bruk! kuhempaskan
seluruh badanku ke atas sofa lumut hijau di ruang tamu, sambil merasakan detak
jarum jam pemberian ayahku.
“Ayah!” aku mengadu
padanya dalam khayal. Ayah, dia bukan menantumu yang paling baik” Ayah, aku
akan cerai dengannya,
“Kau, tahu? Ayah sangat
membenci perceraian. Riwayat keluargamu tak ada coreng perceraian maka dari
itu, jangan coba-coba melakukannya! Apa kau tidak malu pada Allah Subhanahu
wa ta’ala” jawab Ayah (dalam khayalanku)
“Pasti kau kecewa
denganku. Sungguh dahulu saat di pelaminan pernikahanku dengan Mas Sobur, kau membisikkan
kalimat itu, tapi harus bagaimana lagi, ‘Yah?
Hening datang kembali.
Yang tersisa tinggal detak jarum jam bekas pemberian Ayah, dengkur kedua
anakku, isak tangisku yang semakin melaun dan kopi hitam pahit yang sudah mulai
mendingin seiring hatiku yang mengharu biru.
______________________________________________________
Catatan
kaki:
1Mang Kardi, sekarang
jadwal meronda Kang Sobur, bukan?
2“Oh, jadwal
meronda Kang Sobur tuh besok, hari Selasa”
3“Lihat Kang
Sobur, gak?
4“Mang Kardi bisa
antar saya ke sana?”
5“Oh, silahkan,
Nyai!”
6“Mang Kardi, ayo
berangkat!”
7“Ke mana,
Nyai... Nyai??”
8“Terima kasih,
Mang!”
9 “Sama-sama,”
Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Penulisan Kreatif di semester 3 :)