Minggu, 09 September 2012

Kisah Pencarian Cinta Sang Raja Muda

Salam Kawan!
Lama sekali tak jumpa. mungkin sudah 2 tahun aku tak menyapa kalian seperti sehangat ini lagi. semacam ada kerinduan yang sangat. tak bisa diukur. hanya bisa dirasa.

Bagaimana kabar kalian semua?
Pasti baik2 saja bukan? bagaimana tidak baik, sudah bertemu keluarga besar di hari Fitri tahun ini. bagi yang tidak juga pasti sedang gembira karena gaji akhir bulan sudah cair dan dapat THR. tapi masih ada kebahagiaan yang luar biasa yang mungkin tidak kita sadari. Apakah kalian tahu apa itu? sini biar kuberi tahu! yaitu kita masih bisa bernafas men! memuji Tuhan men! bersembah sujud pada-Nya. dan yang paling penting kita masih diberi kesempatan memperbaiki kesalahan-kesalahan kita di masa lalu sebelum kita kembali ke haribaan-Nya.

Sebelum kulanjutkan dengan kisah, aku ingin mengucapkan maaf bagi kawan-kawan semua. siapa tahu, meski kita belum pernah berjumpa sekali pun aku pernah menyinggung perasaan kalian semua lewat tulisan-tulisanku ini. kau tahu, bisa jadi ada kesalahpahaman di dalamnya. Sekali lagi mohon maaf.

Sudahlah... aku termasuk orang yang terlalu melankolis. Tak tahan dengan suasana haru. Aku tak ingin lagi meneteskan air mata terlalu banyak dan terlalu sering karena kejadian yang pernah menimpaku akhir-akhir ini. mungkin akan ku bagi sebagian saja, dan yang sebagian lagi akan tetap jadi milik hatiku, takkan ku bagi. terlalu pribadi.

Inilah sebuah kisah tentang negeri dongeng.
terdapat sebuah kerajaan di negeri antah berantah. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang Raja yang masih muda karena raja sebelumnya yaitu ayah dari si raja muda itu telah mati diracuni oleh mata-mata yang menyamar menjadi dayang dengan racun arsenik ketika Sang Raja tengah asyik berjemur di samping kolam renang dan meminum Es Lemon yang telah terkontaminasi dengan racun arsenik itu.

Sang Raja Muda awalnya hendak menghukum gantung mata-mata itu. Akan tetapi si mata-mata itu memohon maaf dan bersedia melakukan apapun demi permohonan maaf. Sang Raja Muda meminta dia untuk mencarikan penyembuh kegundahan hati si Raja Muda yang telah ditinggal kekasihnya dengan di beri tenggang waktu hanya 1 minggu. Mengapa hanya 1 minggu? karena Raja Muda tak ingin terlalu lama merasakan sakit hatinya dan jika dalam 1 minggu itu dia tidak sembuh, maka dia akan bunuh diri dengan meminum racun arsenik, sama seperti cara kematian sang ayah.

Sang mata-mata itu menerimanya. dan siap menanggung resikonya. yaitu dia pun meminum racun yang sama. racun yang sangat mematikan. dengan meminum itu, hanya butuh 10 detik untuk mati.

Bagaimanakah kisah selanjutnya?
tunggu di episode berikutnya! :)

Terima Kasih...
    

SEPARUH JIWA YANG TERTINGGAL DAN ANDAI SAJA

Tulisan ini akan ku awali dengan pertanyaan, dan jawaban yang tak perlu aku beri, biar kalian jawab sendiri dalam hati.
Apakah kalian pernah merasakan terbangun dari tidur lalu menemukan jiwa kalian telah hilang separuhnya? Bukan karena mimpi semalam yang membuat kalian seperti itu, melainkan kenyataan-kenyataan masa lalu yang di setiap detik mesti kau telan bulat-bulat padahal hatimu ingin menolak. Bahkan dengan tidur sekalipun tidak akan pernah bisa membuatmu melupakannya. Tak pernah benar-benar hilang, meski berganti hari, minggu, bulan, dan tahun. Itulah yang terjadi padaku.
Aku tak akan menjelaskan atau menceritakan kenyataan-kenyataan masa lalu apa saja yang membuatku hampir kehilangan gelora hidup. Ini hanya akan menjadi rahasia dan selamanya akan jadi rahasia sampai aku menemukan wanita pendamping hidupku. Dan akan kuceritakan semua padanya. Biar dia tahu diriku seutuhnya. Diriku di masa lalu. Tapi itu tetaplah masa lalu, dan aku ingin dia mencintai diriku di masa sekarang. Masa diriku bersamanya. Aku sekadar ingin dia tahu saja. Mungkin akan kujadikan sebagai salah satu kisah yang kuceritakan sebelum tidur.
Maaf, aku ini gemar sekali berandai-andai. Tapi itu bisa kujadikan motivasi untuk terus menapaki hidup. Aku yakin seyakin-yakinnya, Allah SWT (Tuhanku, Tuhan kita semua) mendengarkanku, menyaksikanku, dan membaca tulisanku. Dan akan selalu seperti itu.
Semoga diriku semakin kuat dalam mengahadapi kenyataan-kenyataan masa lalu. Mungkin sebagian besar orang menilai masa lalu itu adalah sesuatu hal yang mesti dilupakan. “Masa lalu, ya masa lalu” sejujurnya aku ingin seperti itu. Seperti pikiran banyak orang. Tapi mengapa sulit. Sangat sulit. Bagiku butuh waktu yang sangat panjang untuk bisa melakukannya. Dan sejujurnya aku ini ingin maju, tidak terbelenggu dalam dunia masa lalu. Ku akui aku hidup di masa sekarang. Tapi separuh jiwaku masih tertinggal di masa lalu. Aku ingin dia kembali ke pangkuanku dan menjalani hidup sebagai mana mestinya.
Andai saja... andai saja... semoga dan semoga...
Kau tahu yang terbaik untuk hamba-Mu! Tunjukkanlah jalan itu. Amin...

Kediaman Keluarga Besar KH. Josef CD. 
Pukul 06.30 WIB

Senin, 30 Januari 2012

Mesti Ada Pengorbanan Kecil

Salam, Kawan!

Jumpa kembali kita di taman tulis ini.
Kali ini saya membawa "bekal" untuk diperbincangkan dengan asyik dan menarik. Apa kawan sekalian tahu apa bekal itu?
Mungkin saja kawan pernah membaca sebuah cerpen berjudul Pengorbanan Kecil karya Yopi Setia Umbara yang ditulis dalam blognya yopisetiaumbara.wordpress.com pada 30 Januari 2012. Nah, itulah bekal yang akan saya bagi kali ini. Simaklah!

Dalam tulisan tersebut dikisahkan seorang pengangguran (menurut pandangan kebanyakan orang) yang memiliki sebuah prinsip. Selain itu dia senang berimajinasi dan disalurkannya menjadi sebuah cerpen. Terkadang cerpen itu dia tulis di jejaring sosial semacam blog, facebook atau twitter.

Suatu ketika dia bertemu dengan seorang teman. Kini temannya itu telah menjadi dosen dan berkecukupan materi. Selain bertegur sapa, tentunya terjadi perbincangan di antara mereka. Berikut isi dari perbicangannya:
“Apa kerjaanmu sekarang?” Lalu teman saya bertanya.
“Menulis!” Saya menjawabnya dengan mantap.
“Mengapa kau masih menulis?” Sambutnya.
“Maksudmu?” Jawab saya, mencoba mengurai pertanyaannya.
“Ya, memangnya menulis menghasilkan materi?” Urainya.
“Kadang-kadang.” Kata saya.
“Berarti, pedapatanmu tak pasti?” Lanjutnya.
“Ya, begitulah.” Jawab saya kemudian.
“Lalu kenapa kamu masih bertahan?” Teman saya heran.
“Prinsip, man.” Saya menegaskan.
“Apalah arti sebuah prinsip kalau kamu tak bisa membeli kopi untuk menemanimu menulis!” Kata seorang teman
Bagi seorang idealis seperti dia, mendengarkan pernyataan tersebut sangatlah menusuk hatinya. Lama ia terpekur dan memikirkan terus maksud pernyataan itu sampai muncullah sebuah jawaban bahwa ada benarnya pernyataan tersebut meski sedikit. Jawaban itu adalah bagaimana caranya secangkir kopi dapat menjaga imajinasinya untuk membuat cerita-cerita yang baik yang akan disuguhkan kepada para pembaca. Dengan kata lain, mesti ada pengorbanan kecil demi menjaga prinsip hidupnya tanpa harus mengikuti kepercayaan orang kebanyakan yang sangat mencintai harta dan tahta.

Begitulah akhir dari kisah tentang pengorbanan kecil karya Yopi Setia Umbara.
Semoga kisah dan apresiasi yang saya tunjukan berupa tulisan di blog taman tulis ini dapat menginspirasi kawan-kawan.

"Teruslah berimajinasi, karena berimajinasi itu menyenangkan!"

Sampai jumpa di kisah berikutnya.

Salam, Kawan!

Minggu, 15 Januari 2012

Nenek yang Hilang Senyumnya

Salam kawan!
Percayalah perjumpaan ini akan menjadi abadi jika terus di ceritakan dari masa ke masa, dari satu pihak ke pihak yang lain. Kau tau, ini bukan perjumpaan yang biasa karena ada sebuah makna yang tersirat di balik sebuah cerita yang mungkin kawan-kawan sendiri belum pernah mendengarnya dari siapa pun kecuali dari saya.

Beginilah ceritanya,
Tersebut seorang Nenek yang tinggal di sebuah rumah yang cukup besar, cukup nyaman, yang perabotannya cukup banyak pula, semuanya serba berkecukupan. Rumah itu adalah rumah salah seorang menantunya. Menantunya itu tinggal bersama ketiga anaknya. Si Cikal pergi merantau menimba ilmu di salah satu universitas di Bandung. Istrinya mana? Ya, istrinya (anak si Nenek) telah lama kembali ke pangkuan Allah SWT setelah menderita penyakit komplikasi. Entah apa nama penyakitnya, yang saya ketahui ini-itu tidak beres sistemnya. hampir separuh hartanya ludes hanya untuk meminimalisasi rasa sakitnya. Menantu si Nenek itu memliki usaha yang cukup maju. Mungkin saya cukupkan saja cerita mengenai latar belakang menantunya si Nenek.

Pada paragraf sebelumnya kita sudah tau Nenek itu tinggal dengan fasilitas yang serba berkecukupan. tapi apakah hidupnya bahagia sebahagia nenek-nenek yang lainnya? Tentu tidaklah begitu kawan. Semua keceriaan yang dulu pernah ia goreskan pada senyum sederhananya itu kian lama kian berkurang. Kini dia lebih sering menunggu datangnya pelangi yang memancar dari tawa cucu-cucunya, peluk hangat anak-anaknya, dan kiriman kabar bahwa anaknya baik-baik saja. Dia terus menunggu di balik jendela besar setelah melaksanakan sholat atau usai mengaji. Dia terus saja menunggu dari hari ke hari, dari bulan ke bulan, bahkan dari tahun ke tahun. sampai sudah susah lagi ia berjalan. Terkadang, saat keheningan datang, tampak si Nenek menitikan air mata yang hampir kering itu dan timbul pertanyaan dalam batinnya, "Kapan anak-anakku pulang? Apakah mereka sudah tak tahu jalan pulang?" Meski dia tahu bahwa anak-anaknya telah memiliki rumah sendiri yang diisi oleh istri dan anak-anak mereka.

Kesedihan itu rupanya telah menjadi makanan sehari-hari setelah sebagian besar anaknya berpulang dengan cara yang jika diresapi sangat menyesakkan dada. Sebagian besar dari mereka mengidap penyakit yang cukup berat, dengan penanganan medis yang cukup rumit, tentunya dengan biaya yang selangit. Untuk ukuran kemampuan seorang nenek yang tidak memiliki pekerjaan tentunya dia hanya bisa mengelus dada, menarik napas panjang, dan berusaha membujuk anak-anaknya yang hanya 4 kepala saja juga memohon bantuan terhadap menantu-menantunya. Miris memang...

Dalam setiap sholatnya terselip pertanyaan-pertanyaan di akhir sujudnya "Mengapa tak Kau renggut saja jiwa ini? Mengapa harus mereka? Dan mengapa aku harus menyaksikan mereka menghadap-Mu lebih cepat dariku? Padahal mereka masih muda, sedang aku sudah renta,"

Dan kini...
Dia hanya bisa menunggu dan terus menunggu hujan  membawa kabar bahwa anak-anak dan cucu-cucunya dalam kondisi baik-baik saja...

Sekian,
Terima kasih.

 NB: Semoga kisah ini menginspirasi kawan-kawan semua.

Salam! Sampai jumpa di kisah berikutnya.

Jumat, 30 Desember 2011

PENGERTIAN, CIRI-CIRI dan BENTUK ADJEKTIVA BAHASA INDONESIA

A.    Pengertian
Secara tradisional, adjektiva dikenal sebagai kata yang mengungkapkan kualitas atau keadaan suatu benda. Alwi et al (2003:171) berpendapat bahwa adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan.

B.     Ciri-ciri
1.      Menurut Chaer, kata-kata yang dapat diikuti dengan kata keterangan sekali serta dapat dibentuk menjadi kata ulang berimbuhan gabung se – nya, misalnya kata indah (indah sekali, seindah-indahnya)
2.      Effendi (1995), Alwi et al  (2003:171), dan Kridalaksana (2005:59) mengungkapkan ciri-ciri adjektiva ini lebih terperinci, yaitu adjektiva merupakan kategori yang memiliki kemungkinan untuk (1) bergabung dengan partikel tidak, (2) mendampingi nomina, atau (3) didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, (4) dapat hadir berdampingan dengan kata  lebih…daripada… atau  paling untuk menyatakan tingkat perbandingan, (5) mempunyai ciri-ciri morfologis, seperti – er, - if, (6) dapat dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke – an, dan (7) dapat berfungsi atributif, predikatif, dan pelengkap.



C.    Bentuk
Berdasarkan bentuknya, Alwi et al membagi adjektiva menjadi dua, yaitu:
(a)    adjektiva dasar yang selalu monomorfemis dan
(b)   adjektiva turunan yang selalu polimorfemis. Selanjutnya adjektiva turunan ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) adjektiva berafiks, (2) adjektiva bereduplikasi, dan (3) adjektiva yang berasal dari berbagai kelas.
a.      Adjektiva Dasar
Sebagian besar adjektiva dasar merupakan bentuk yang monomorfemis, meskipun ada yang berbentuk perulangan semu. Perhatikan contoh berikut: arif, anggun, rajin, malas, besar, mewah, putih, pura-pura, sia-sia.

b.      Adjektiva Turunan
1.      Adjektiva turunan berafiks, misalnya:
a.       prefiks se- , contoh: secantik, semahal, seluas dan dengan prefiks ter-, contoh: terpandai, terlama, terbaru.
b.      infiks atau sisipan – em – pada nomina, adjektiva, dan verba, contoh: gemetar, gemuruh,  kemilau,  semerbak.
c.       sufiks merupakan hasil penyerapan adjektiva berafiks – i, - iah, atau – wi dan yang berafiks – if, - er, - al, - is, contoh: alami, abadi, insani, batiniah, rohaniah, ilmiah, manusiawi, duniawi, aktif, agresif, parlementer, komplementer, normal, struktural, praktis.
d.      ke – R – an atau ke – an, contoh: kebelanda-belandaan, kebiru-biruan, kesakitan, kesepian.
2.      Adjektiva turunan bereduplikasi, misalnya:
a.       Adjektiva bentuk berulang sempurna, contoh: elok-elok, kecil-kecil, muda-muda, gagah-gagah.
b.      Adjektiva yang mirip dengan bentuk berulang, yaitu yang merupakan hasil penggabungan sinonim atau antonim, contoh: indah jelita, gelap gulita, arif bijaksana, siap sedia, tua muda, baik buruk, besar kecil, kaya miskin, tinggi rendah.
c.       Adjektiva majemuk yaitu adjektiva yang merupakan gabungan morfem terikat dengan morfem bebas dan ada yang merupakan gabungan dua morfem bebas. Kridalaksana menyebut adjektiva gabungan morfem terikat dengan morfem bebas dengan istilah adjektiva majemuk subordinatif, dan adjektiva gabungan dua morfem bebas dengan istilah adjektiva majemuk koordinatif. Misalnya: pascalahir, tunanetra, mahabesar, semipermanen, gagah berani, gagal total, Termasuk di  dalamnya bentuk-bentuk golongan idiom. Artinya makna bentuk gabungan itu tidak dapat dijabarkan dari penjumlahan makna unsur-unsurnya, misalnya: berat hati, kurang ajar.
3.      Adjektiva yang berasal dari berbagai kelas. Kridalaksana berpendapat ada lima kelas kata yang dapat berpindah menjadi kelas kata adjektiva, yaitu kelas kata verba, nomina, adverbia, numeralia, interjeksi, misalnya:
a.       deverbalisasi: mencekam, terbuka, terpaksa, tersinggung.
b.      denominalisasi: ahli, meradang, melembaga, luas, berbusa.
c.       deadverbialisasi: berkurang, bertambah, bersungguh – sungguh.
d.      denumeralia: manunggal, mendua, menyeluruh.
e.       deinterjeksi: aduhai, asoi, sip, wah, yahud.

D.    Kesimpulan
1.      Secara tradisional, adjektiva dikenal sebagai kata yang mengungkapkan kualitas atau keadaan suatu benda. Alwi et al (2003:171) berpendapat bahwa adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina dalam kalimat.
2.      Berdasarkan Bentuknya, Alwi et al membagi adjektiva menjadi dua, yaitu adjektiva dasar yang selalu monomorfemis dan adjektiva turunan yang selalu polimorfemis. Adjektiva turunan ini dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu adjektiva berafiks, adjektiva bereduplikasi, dan adjektiva yang berasal dari berbagai kelas.

Sumber:
Alwi, Hasan dkk, 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. 
Chaer, Abdul 2006. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Kridalaksana, Harimurti. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Sasangka, Sry Satrya T.W dkk. 2000. Adjektiva dan Adverbia dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.  
Verhaar, J.W.M. 2001. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

(Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Morfologi semester 3)

Selasa, 11 Oktober 2011

Ini Untukmu, Anakku!

Terik mentari tajam sengat kulit langsat
sejurus kau sapu itu keringat
hilang sudah debu yang lekat-lekat
menyipit matamu menengadah mengharap
barang sepeserpun kau dapat

Ibu, sudah lunglai pijak kaki
pada bebatu tajam itu
biar dirimu istirahatkanlah dahulu
barang sebentar sahaja 

Ah, tidak
waktu jua tak menunggu mengasihani diri
biar saja peluh kau bawa sampai
pada meja kelas kumuh itu
di kampung-kampung, anak kampung butuh ilmu
dan kau butuh uang
untuk bekal anakmu sekolah
bukan dikampung 
tapi di kota yang barang tentu punya tarif mahal.

Ibu, ku tahu kau sembunyikan itu peluh
agar aku enak makan enak tidur
tanpa harus mengibamu
biar begitu aku tahu kau pulang senja,
langsung saja kau menghempas tidur
sampai kau lupa mengganti pakaianmu

Pamoyanan, 26 September 2011

Jumat, 07 Oktober 2011

Tinggal Kopi Pahit Tadi Malam


Tik… tok… tik… tok…
Selalu begitu suara detak jarum jam bekas pemberian dari almarhum ayahku, tapi masih saja aku rawat sedemikian baik agar dapat berfungsi kembali. Ya, agar aku selalu ingat padanya. Menatap dan mendengar detak jarum ini sendiri seakan detak jantung dan bayangan ayahku hadir di sampingku sambil menunggu kepulangan menantunya. Dia adalah suamiku yang dulu ayahku selalu memujinya. “Dialah menantuku yang paling baik di antara menantuku yang lain,” katanya sambil tersenyum (dalam lamunanku).
Sudahlah! Semua itu hampir berakhir. Kesetiaan cintanya padaku seakan pudar seiring dengan tumbuhnya garis keriput di samping mataku, walau hanya sedikit. Sudah hampir satu bulan dia tidak pulang ke rumah walau cuma tidur-tiduran di sofa. Dia bilang sedang kebanjiran pelanggan parfum merek Ave milik bos parfum di kampung sebelah. Bodoh amat dengan itu semua! Kini harapanku yang tersisa hanyalah suamiku pulang dengan selamat dan tak meninggalkan bau alkohol atau luka memar di wajahnya seperti yang kulihat di setiap sinetron yang aku tonton. Dan tidak mungkin suamiku berlaku seburuk itu.


Tik… tok… tik… tok…
Jarum jam menunjuk tepat pada pukul 12 malam. Aku masih sendiri menunggunya di atas sofa hijau lumut di ruang tamu. Belum juga dia menampakkan batang hidungnya. Dia semakin membuatku cemas. Air hangat telah kusiapkan supaya dia cepat mandi setelah pulang. Tak lupa secangkir kopi pahit hitam panas kesukaannya juga telah kuhidangkan di atas meja kaca.
“Mas, kapan kau akan pulang? Kopimu telah aku buatkan, aku sudah mengurangi takaran gulanya. Aku yakin, kali ini kau pasti akan suka, Mas, aku sudah mulai mengantuk. Tak mungkin aku menunggumu terlalu lama. Cepatlah pulang! Aku cemas padamu, Mas! Sekarang sudah pukul 12 malam.”
Mail box sudah aku sampaikan. Mudah-mudahan dia dapat mendengarkan pesan itu. Habisnya, sudah beberapa kali kutelepon, takpernah dia angkat.
***
Angin menderu membentur kap mobil sedan yang ditumpangi oleh Sobur dan Shinta, istri bos parfum. Mereka sedang asyik berbincang di dalam mobil jok paling depan. Sejurus mereka asyik mengobrol, dering handphone datang mengganggu.
“Siapa yang meneleponmu? Kenapa tak kau angkat?” Tanya Nyonya Shinta, istri bos parfum, sambil mengernyitkan dahi.
“Ah, tidak. Bukan siapa-siapa.” Mas Sobur mengelak
“Mungkin salah sambung.” Sambung Sobur.
“Oh, saya kira yang menelponmu tadi itu adalah istrimu.”
“Oh, ya, sudah sampai mana tadi kita berbincang-bincang?”
“Sampai niat kau meminta antar kepadaku untuk membeli susu dan popok untuk anakmu”
“Ah… ya, aku sampai lupa. Maaf!”
“Aku mengajakmu karena suamiku tak jadi pulang ke rumah. Karena ada partner kerja dari Jakarta yang memintanya untuk datang ke pertemuan mendadak. Katanya mereka akan  mengadakan launching produk parfum terbaru beraroma terapi beberapa bulan ke depan,”
“Nah, dia meminta kepadaku untuk membujukmu untuk menemani sekaligus menjadi sopirku. Katanya kau adalah orang kepercayaannya. Maka dari itu, kau sering aku suruh untuk menemaniku keluar rumah. Suamiku sangat memercayaimu. Dan aku sangat percaya pada suamiku,” tambah Shinta.
“Kau tak akan macam-macam denganku, kan?
“Sudah tentu tidak, Nyonya! Bagaimana mungkin aku mengkhianati kepercayaan bosku? Lagipula, beliau amat baik padaku. Tak jarang dia beri aku bonus kalau produk parfumnya terjual lebih dari setengahnya”
Dengan santai Sobur mengendalikan stir mobil sambil mendengarkan lagu jazz.
***
Jarum jam kini menunjuk pukul 12.30 WIB. Sudah setengah jam aku telah menunggu. Semakin lama, perasaan cemas semakin  menjadi. Tanpa berpikir lama, bergegaslah aku membawa mantel tebal yang kubeli di pasar kaget di Gasibu Bandung setahun yang lalu. Kubeli bersama suamiku dengan uang upah kerja suamiku. Ya, dia pernah dan masih bekerja sebagai sales parfum di kampung sebelah. Kampung Sukasari Tak lupa juga kubawa mantel miliknya serta lampu senter besar.
Pergilah aku ke pos ronda di depan pekuburan kampung Sukasenang. Jaraknya dari rumahku tak lebih dari 50 meter. Mas Soburku sering berkumpul di sana bersama teman-temannya. Terkadang sesekali pernah kutemui dia sedang bermain catur bersama teman-temannya. Ya, setiap kali aku memberinya bekal kudapan agar siap menghadapi para maling di gelap malam. Dan mungkin saja malam ini dia sedang ada ronda sehingga tak bisa dia angkat telepon dariku. Jika dia angkat, kau akan tahu sendiri bagaimana jadinya.
Kulihat ada Mang Kardi sedang sendiri menunggu teman-teman merondanya datang.
Mang Kardi, ari ayeuna jadwal ngaronda Kang Sobur, teu?1
Oh, jadwal meronda Kang Sobur mah enjing, dinten Salasa”2
“Ningali Kang Sobur teu?3
Oh, Kang Sobur?
Kang Sobur teh tadi saya lihat sedang bersama seorang wanita naik mobil sedan.
Kalau tidak salah, mereka teh menuju ke arah barat. Mungkin saja mereka ke supermarket 24 jam di samping gerbang kampung ini.
Apa mungkin wanita yang sedang bersamanya itu adalah wanita yang sering dibicarakan Ceu Manah (tetanggaku). Katanya wanita itu adalah istri si bos perusahaan parfum. Bos suamiku. Ah, tak mungkin suamiku dengan beraninya mendekati wanita itu. Yang ada, aku taklagi dapat membeli beras juga takdapat membayar biaya sekolah kedua anakku dan anaknya. Karena suamiku dipecat tanpa meninggalkan pesangon. Mana zaman sekarang susahnya minta ampun untuk dapat pekerjaan. Paling-paling jual TV atau radio butut satu-satunya milik kami.
Lama aku dalam lamunan yang takkaruan. Dengan segera kecemasan-kecemasan itu ku tepis jauh-jauh dari pikirku. 
“Mang Kardi tiasa nganteur Abdi kadinya?”4
Kebetulan kulihat Mang kardi membawa sepeda motor.
“Oh, mangga, Nyai!”5
***
Hembus angin kencang melawan arus laju motor, hingga menelusup kain mantelku yang tebal. Seakan mencari celah masuk agar angin sukses membuatku bersin kedinginan. Meski begitu, aku tetap tak peduli. Yang penting segera aku dapatkan mereka di supermarket itu.   
Sesampainya di halaman supermarket kami mendapati sebuah mobil sedan berwana hitam.
“Mang Kardi, apa benar ini mobilnya?” tanyaku sambil menahan degup kencang jantungku yang mulai memanas.
“Ya, benar!”
Tak sampai aku membuka pintu supermarket itu, sudah jelas kulihat suamiku sedang menenteng keranjang belanja bersama wanita yang mungkin saja dia adalah istri si bos parfum. Dia cantik sekali, mengenakan gaun merah dengan rok sampai lutut seakan memamerkan kaki mulus putih nan lancip. Juga bermantel yang digantungkan saja di atas bahunya.
Semakin aku selidiki tingkah mereka berdua dari kejauhan. Mereka kini mulai membeli popok dan susu bubuk untuk bayi. Sontak hatiku mulai memanas. Jantungku berdetak  dua kali lebih kencang dari biasanya.
Tak lama setelah membeli kedua jenis barang tersebut, mereka membayar belanjaan di kasir. Lalu mereka keluar menuju daun pintu mobil sedan hitam milik istri si bos parfum yang cuih! Cantiknya bukan kepalang. Iri aku padanya.
“Mas!!!” teriakku kencang melawan deru angin malam
“Surti? Kaukah itu? Sobur sedikit mengerenyitkan dahi terlihat menyelidiki keberadaanku yang terbilang aneh.
“Kenapa kamu ada di sini?”
“Tidak penting kau tahu aku ada di sini, yang jelas kini kau lebih memilihnya karena dia cantik dan nampak jauh lebih muda dariku. Sedangkan aku. Istrimu. Hanya patung tua yang dengan pura-pura kau puji. Padahal hatimu busuk!!! Hahh!! Mengapa tak kau bilang saja dari dulu, kau ingin punya istri lagi? Beraninya kau menghamili istri orang lain tanpa sepengetahuanku!”
“Apa maksudmu? Siapa yang menghamili istri orang lain?”
“Buktinya tadi kulihat kau membeli popok bayi dan susu,”
“Apa itu sudah cukup sebagai bukti, Hahhh??”
Surti menarik nafas dalam-dalam dan berkata, “Mas, aku minta cerai!”

“tunggu dulu, Surti! Mengapa kamu tak memberiku kesempatan bicara? Ini semua salah paham. Aku hanya… A…ku…
Surti!!!” teriak Mas Sobur
Aku sudah muak melihat mukanya. Segera kupalingkan tubuhku yang lemas hampir rapuh mengalami peristiwa pahit di malam ini. Sudah kuduga. Ini semua akan terjadi. Kulihat Mang Kardi masih setia menungguku di samping trotoar.
“Mang Kardi, hayu angkat!”6
Kamana, Nyai... Nyai??”7
Aku tak mampu lagi menjawab pertanyaan remeh itu. sebab suaraku kering tersekat isak tangis yang dalam. Sangat dalam. Mang Kardi tak meneruskan pertanyaannya. Dia sudah tau apa yang harus dia lakukan, yaitu mengantarku pulang. Kini taklagi kudengar gemuruh angin malam itu. hanya suara tangisku yang tak bisa kubendung lagi. Mang Kardi hanya diam takut salah ucap dan mencoba memahami perasaanku.
Sesampainya aku dan Mang Kardi di mulut gang rumahku. Aku dibopongnya, karena lemas badanku setelah melewatkan pertemuan tadi.
Nuhun, Mang!” 8 ucapku lemas.
Sami-sami,” 9 balas Mang Kardi.
Menggenggam kunci pun terasa berat. Sampai diriku lama sekali membuka pintu. Bruk! kuhempaskan seluruh badanku ke atas sofa lumut hijau di ruang tamu, sambil merasakan detak jarum jam pemberian ayahku.
“Ayah!” aku mengadu padanya dalam khayal. Ayah, dia bukan menantumu yang paling baik” Ayah, aku akan cerai dengannya,
“Kau, tahu? Ayah sangat membenci perceraian. Riwayat keluargamu tak ada coreng perceraian maka dari itu, jangan coba-coba melakukannya! Apa kau tidak malu pada Allah Subhanahu wa ta’ala” jawab Ayah (dalam khayalanku)
“Pasti kau kecewa denganku. Sungguh dahulu saat di pelaminan pernikahanku dengan Mas Sobur, kau membisikkan kalimat itu, tapi harus bagaimana lagi, ‘Yah?
Hening datang kembali. Yang tersisa tinggal detak jarum jam bekas pemberian Ayah, dengkur kedua anakku, isak tangisku yang semakin melaun dan kopi hitam pahit yang sudah mulai mendingin seiring hatiku yang mengharu biru.
______________________________________________________
Catatan kaki:

1Mang Kardi, sekarang jadwal meronda Kang Sobur, bukan?
2“Oh, jadwal meronda Kang Sobur tuh besok, hari Selasa”
3“Lihat Kang Sobur, gak?

4“Mang Kardi bisa antar saya ke sana?”
5“Oh, silahkan, Nyai!”

6“Mang Kardi, ayo berangkat!”
7“Ke mana, Nyai... Nyai??”

8“Terima kasih, Mang!”
9 “Sama-sama,”

Dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah Penulisan Kreatif di semester 3 :)